Aparat kepolisian dianggap tidak kooperatif dalam penanganan pasca bentrok dengan warga di Pelabuhan Sape, Kecamatan Lambu, Bima, Nusa Tenggara Barat. Salah satunya adalah sulitnya mendapatkan informasi korban luka dan tewas karena polisi memblokade beberapa fasilitas publik.
Hal ini disampaikan oleh Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Nurkholis, di Jakarta Senin, 26 Desember 2011. Dia mengatakan salah satu yang diblokade oleh polisi adalah Puskesmas, membuat anggotanya sulit mengumpulkan informasi.
"Informasi kita dapatkan malah dari informan yang mengatakan bahwa blokade puskemas dilakukan oleh kepolisian karena untuk mengamankan fasilitas publik," ujar Nurkholis.
Padahal, lanjutnya, informasi tersebut sangat penting untuk bahan awal investigasi. Untuk mendapatkan informasi yang jelas, Komnas HAM akan memberangkatkan tim investigasi ke Bima besok. Tim ini akan menyelidiki penembakan kepada warga dan jumlah korban pasti.
Hal ini disampaikan oleh Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Nurkholis, di Jakarta Senin, 26 Desember 2011. Dia mengatakan salah satu yang diblokade oleh polisi adalah Puskesmas, membuat anggotanya sulit mengumpulkan informasi.
"Informasi kita dapatkan malah dari informan yang mengatakan bahwa blokade puskemas dilakukan oleh kepolisian karena untuk mengamankan fasilitas publik," ujar Nurkholis.
Padahal, lanjutnya, informasi tersebut sangat penting untuk bahan awal investigasi. Untuk mendapatkan informasi yang jelas, Komnas HAM akan memberangkatkan tim investigasi ke Bima besok. Tim ini akan menyelidiki penembakan kepada warga dan jumlah korban pasti.
Sampai saat ini keterangan resmi jumlah korban tewas yang diterima Komnas HAM adalah tiga orang, yaitu Arief Rahman (19) terkena peluru lengan kanan tembus ke ketiak dan Saiful (17) tembus dada. Sedangkan seorang korban tewas lainnya, belum diketahui penyebab tewasnya.
Tim juga akan menemui beberapa pihak yang diduga merusak fasilitas publik serta menanyakan apakah tuduhan yang disampaikan oleh polisi benar atau tidak.
Salah satu bukti tidak kooperatifnya polisi lainnya, kata Nurkholis, polisi juga belum menjawab surat rekomendasi yang dikirimkan oleh Komnas HAM. Dalam surat tersebut, Komnas HAM menyarankan dihentikannya sementara eksplorasi pertambangan sampai kondisi masyarakat kondusif.
Tim juga akan menemui beberapa pihak yang diduga merusak fasilitas publik serta menanyakan apakah tuduhan yang disampaikan oleh polisi benar atau tidak.
Salah satu bukti tidak kooperatifnya polisi lainnya, kata Nurkholis, polisi juga belum menjawab surat rekomendasi yang dikirimkan oleh Komnas HAM. Dalam surat tersebut, Komnas HAM menyarankan dihentikannya sementara eksplorasi pertambangan sampai kondisi masyarakat kondusif.
Polisi Membantah
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Boy Rafli Amar, membantah jika pihaknya dikatakan tidak kooperatif. Menurutnya, selama ini polisi telah bersikap terbuka terhadap penyelidikan. Masalah dengan Komnas HAM, ujarnya, adalah karena kurangnya komunikasi saja.
"Komnas HAM boleh mengecek langsung di lapangan, komunikasi dengan masyarakat dan lainnya secara langsung, pihak kepolisian sangat terbuka, khususnya kepolisian Bima dalam memberikan data-data yang dibutuhkan," jelas Boy.
Terkait soal surat rekomendasi Komnas HAM, Boy mengatakan hal itu bukan termasuk dalam ranah tugas polisi. "Itu bukan domain polisi. Izin pertambangan adalah dari pihak Pemerintah Daerah, Bupati. Jadi polisi tidak berwenang untuk melakukan penghentian atau tidak," jelas Boy.
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Boy Rafli Amar, membantah jika pihaknya dikatakan tidak kooperatif. Menurutnya, selama ini polisi telah bersikap terbuka terhadap penyelidikan. Masalah dengan Komnas HAM, ujarnya, adalah karena kurangnya komunikasi saja.
"Komnas HAM boleh mengecek langsung di lapangan, komunikasi dengan masyarakat dan lainnya secara langsung, pihak kepolisian sangat terbuka, khususnya kepolisian Bima dalam memberikan data-data yang dibutuhkan," jelas Boy.
Terkait soal surat rekomendasi Komnas HAM, Boy mengatakan hal itu bukan termasuk dalam ranah tugas polisi. "Itu bukan domain polisi. Izin pertambangan adalah dari pihak Pemerintah Daerah, Bupati. Jadi polisi tidak berwenang untuk melakukan penghentian atau tidak," jelas Boy.
Massa gabungan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi bersama beberapa organisasi kemahasiswaan lainnya menggelar aksi solidaritas di depan Istana Negara Republik Indonesia, Jakarta, Minggu (25/12/2011). Mereka menyuarakan penentangannya terhadap kasus pelanggaran HAM di Bima, Nusa Tenggara Barat, dan kasus pembakaran diri Sondang Hutagalung.
Unjuk rasa atau demonstrasi mahasiswa asal Bima, Nusa Tenggara Barat di Makassar terus belangsung dalam tiga hari terakhir atau sejak Sabtu (24/12/2011) hingga Senin (26/12/2011).
Mereka memprotes penembakan terhadap pengunjukrasa yang dilakukan oknum polisi di Pelabuhan Sape, Bima. Bahkan unjuk rasa di Makassar diwarnai perusakan pos polisi dan rambu lalulintas.
Menurut seorang pengunjuk rasa Arif, unjuk rasa akan terus digelar dalam sepekan ini bahkan mereka mengancam akan terus menggelar unjuk rasa sampai waktu yang tidak ditentukan. Unjuk rasa akan dihentikan setelah kasus ini tuntas.
"Kami mau demo hingga kasus penembakan terhadap saudara kami di Bima, tuntas. Kalau perlu setiap hari kami demo di Makassar," ujar Arif.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusi (Komnas HAM) menilai telah terjadi pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian dalam peristiwa kekerasan di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat pada Sabtu (24/12/2011) lalu. Kekerasan itu menewaskan tiga orang dan melukai 19 orang.
"Kami belum bisa memastikan, apakah ini pelanggaran HAM berat atau pelanggaran HAM biasa. Namun yang pasti telah terjadi pelanggaran HAM," kata Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, Senin (26/12/2011) di Jakarta.
Peristiwa Sape tergolong pelanggaran HAM, karena adanya kehilangan hak atas hidup warga masyarakat yang berusaha memperjuangkan haknya atas tanah, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup yang sehat. Korban tewas diduga terkena peluru tajam yang ditembakkan polisi.
Masyarakat juga mengalami tindak kekerasan antara lain terkena tembakan, tendangan, pukulan, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan aparat kepolisian.
Menurut Ifdhal, polisi melanggar prosedur dalam menghadapi demo masyarakat di Sape, karena mereka menembakkan peluru ke tengah-tengah kerumunan massa.
Demo masyarakat seharusnya tidak perlu direspon polisi dengan menembakkan senjata, karena konflik bisa diselesaikan dengan dialog antara pihak-pihak yang bersengketa.
Polisi, kata Ifdhal cenderung membela kepentingan perusahaan atau pemerintah daerah, dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Padahal polisi ditugaskan terutama untuk membela kepentingan rakyat.
Karena itu, Komnas HAM mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memerintahkan Kapolri Timur Pradopo, agar meninjau kembali kebijakan polisi yang selalu menempatkan anggota Brimob di perusahaan-perusahaan yang rawan konflik agraria.
ada tahun 2011 ini polisi kelihatan sangat kedodoran dalam upaya deteksi dini kerusuhan dan pengamanan. Sebut saja insiden Cikeusik, kerusuhan Temanggung, kerusuhan Ambon, kerusuhan Klungkung Bali dan lain sebagainya.
Berbagai kerusuhan tersebut tidak dapat terdeteksi dengan baik oleh Polri. "Ini menunjukkan lemahnya penguasaan kewilayahan oleh lembaga ini. Karenanya perlu ada evaluasi apakah penyebab kelemahan tersebut," jelas Anggota Komisi III DPR-RI, Aboe Bakar Al-Habsyi, saat dihubungi, Senin (26/12).
Di sisi lain, Polri terlihat represif ketika melakukan kegiatan pengamanan. Tak jarang senjata mereka menyalak dan melukai bahkan menewaskan masyarakat sipil. "Tentu kita masih ingat insiden Batam, Papua, Mesuji Lampung, Oki Sumsel, Mandailing Natal dan yang terakhir dipengujung tahun ini adalah Bima," papar politisi PKS itu.
Karenanya sudah sangat patut DPR memanggil Kapolri. Dia melihat Polri lemah dalam mengelola bahan keterangan (Baket) intelijen menjadi sebuah operasi lapangan yang harus disiapkan dalam menindak lanjuti info intelijen. Seharusnya, dari Baket yang ada Polri harus mampu mengidentifikasi siapa yang dihadapi.
Bila yang dihadapi bukan kekuatan bersenjata. Polri dilarang keras membawa senjata, apalagi menggunakan. Seharusnya kekuatan polisi hanya digunakan apabila eskalasi di lapangan berkembang menjadi brutal dan memerlukan kekuatan bersenjata.
"Karenanya kita akan pastikan apakah tindakan lapangan yang dilakukan aparat telah sesuai dengan urutan tindakan yang benar. Apakah polisi sudah melakukan pendekatan yang persuasif," kata Aboe.
Berbagai kerusuhan tersebut tidak dapat terdeteksi dengan baik oleh Polri. "Ini menunjukkan lemahnya penguasaan kewilayahan oleh lembaga ini. Karenanya perlu ada evaluasi apakah penyebab kelemahan tersebut," jelas Anggota Komisi III DPR-RI, Aboe Bakar Al-Habsyi, saat dihubungi, Senin (26/12).
Di sisi lain, Polri terlihat represif ketika melakukan kegiatan pengamanan. Tak jarang senjata mereka menyalak dan melukai bahkan menewaskan masyarakat sipil. "Tentu kita masih ingat insiden Batam, Papua, Mesuji Lampung, Oki Sumsel, Mandailing Natal dan yang terakhir dipengujung tahun ini adalah Bima," papar politisi PKS itu.
Karenanya sudah sangat patut DPR memanggil Kapolri. Dia melihat Polri lemah dalam mengelola bahan keterangan (Baket) intelijen menjadi sebuah operasi lapangan yang harus disiapkan dalam menindak lanjuti info intelijen. Seharusnya, dari Baket yang ada Polri harus mampu mengidentifikasi siapa yang dihadapi.
Bila yang dihadapi bukan kekuatan bersenjata. Polri dilarang keras membawa senjata, apalagi menggunakan. Seharusnya kekuatan polisi hanya digunakan apabila eskalasi di lapangan berkembang menjadi brutal dan memerlukan kekuatan bersenjata.
"Karenanya kita akan pastikan apakah tindakan lapangan yang dilakukan aparat telah sesuai dengan urutan tindakan yang benar. Apakah polisi sudah melakukan pendekatan yang persuasif," kata Aboe.
Komnas HAM meminta Polisi bertanggungjawab atas peristiwa tindak kekerasan terhadap warga yang terjadi di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu 24 Desember lalu.
Komnas HAM menilai, nyawa warga yang telah terenggut tak dapat dinilai oleh apapun juga.
"Dan meminta Kapolri mengevaluasi pengerahan aparatnaya dalam menyelesaikan blokade masyarakat terhadap pelabuhan di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat," ujar Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ifdhal Kasim, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (26/12/2011).
Dijelaskannya, peristiwa bentrokan warga dengan aparat polisi di Bima terjadi, karena masyarakat merasa terncam dengan adanya kegiatan eksplorasi pertambangan dari PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang berpotensi merusak lingkungan hidup atau ekosistem warga, seperti hilangnya sumber mata air yang selama ini dijadikan sebagai gantungan hidup untuk keperluan
sehari-hari.
Selain itu mata air tersebut juga berguna untuk mengairi irigasi persawahan warga dan dikhawatirkan dapat mencemari laut, yang juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Selain mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa tersebut juga terdapat puluhan korban luka tembak dan kekerasan seperti pemukulan aparat.
"Berdasarkan video atau gambar yang dilaporkan warga (dirahasiakan identitasnya) proses penembakan yang dilakukan degan peluru karet atau timah, merupakan suatu pelanggaran HAM, karena aparat terlihat menembak lurus ke arah kerumunan pendemo," paparnya.
Ifdhal menambahkan, sebelumnya warga juga sempat melapor ke Komnas HAM terkait masalah eksplorasi tambang dan pada April 2011,di akuinya Komnas HAM telah melakukan investigasi ke lapangan.
"Kemudian pada 9 November 2011, Komnas HAM mengeluarkam rekomendasi
Nomor 2.784/K/PMT/XI/2011 yang ditujukan untuk Bupati Bima, Kapolda NTB
dan Direktur PT SMN, namun hingga sekaran tidak dihiraukan," ungkap Ifdhal.
Lebih lanjut Ifdhal mengatakan, rekomendasi tersebut berisi meminta kepada Bupati Bima untuk memperbaiki sistem informasi dan sosialisasi kegiatan pertambangan mulai eksplorasi hingga menghentikan sementara kegiatan PT SMN, sambil menunggu kondusifitas kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan kepada Kapolda NTB, diminta agar menempuh langkah koordinatif dan komunikatif sengan seluruh unsur pemerintahan dan tokoh masyarakat guna mencegah terjadinya konflik horizontal di Kabupaten Bima.
"Pada kenyataannya rekomendasi Komnas HAM, tidak mendapatkan respons positif dari jajaran pemerintah daerah dan kepolisian serempat. Inilah pemicu terjadinya peristiwa kekerasa tersebut,"tutupnya.
Komnas HAM menilai, nyawa warga yang telah terenggut tak dapat dinilai oleh apapun juga.
"Dan meminta Kapolri mengevaluasi pengerahan aparatnaya dalam menyelesaikan blokade masyarakat terhadap pelabuhan di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat," ujar Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ifdhal Kasim, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin (26/12/2011).
Dijelaskannya, peristiwa bentrokan warga dengan aparat polisi di Bima terjadi, karena masyarakat merasa terncam dengan adanya kegiatan eksplorasi pertambangan dari PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang berpotensi merusak lingkungan hidup atau ekosistem warga, seperti hilangnya sumber mata air yang selama ini dijadikan sebagai gantungan hidup untuk keperluan
sehari-hari.
Selain itu mata air tersebut juga berguna untuk mengairi irigasi persawahan warga dan dikhawatirkan dapat mencemari laut, yang juga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Selain mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa tersebut juga terdapat puluhan korban luka tembak dan kekerasan seperti pemukulan aparat.
"Berdasarkan video atau gambar yang dilaporkan warga (dirahasiakan identitasnya) proses penembakan yang dilakukan degan peluru karet atau timah, merupakan suatu pelanggaran HAM, karena aparat terlihat menembak lurus ke arah kerumunan pendemo," paparnya.
Ifdhal menambahkan, sebelumnya warga juga sempat melapor ke Komnas HAM terkait masalah eksplorasi tambang dan pada April 2011,di akuinya Komnas HAM telah melakukan investigasi ke lapangan.
"Kemudian pada 9 November 2011, Komnas HAM mengeluarkam rekomendasi
Nomor 2.784/K/PMT/XI/2011 yang ditujukan untuk Bupati Bima, Kapolda NTB
dan Direktur PT SMN, namun hingga sekaran tidak dihiraukan," ungkap Ifdhal.
Lebih lanjut Ifdhal mengatakan, rekomendasi tersebut berisi meminta kepada Bupati Bima untuk memperbaiki sistem informasi dan sosialisasi kegiatan pertambangan mulai eksplorasi hingga menghentikan sementara kegiatan PT SMN, sambil menunggu kondusifitas kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan kepada Kapolda NTB, diminta agar menempuh langkah koordinatif dan komunikatif sengan seluruh unsur pemerintahan dan tokoh masyarakat guna mencegah terjadinya konflik horizontal di Kabupaten Bima.
"Pada kenyataannya rekomendasi Komnas HAM, tidak mendapatkan respons positif dari jajaran pemerintah daerah dan kepolisian serempat. Inilah pemicu terjadinya peristiwa kekerasa tersebut,"tutupnya.
Menurut saya kasus BIMA merupakaan cerminan brimob polri saat ini "Maju Tak Gentar Membela yang Bayar" apa semua hanya berasas materis saja mereka lupa memicu rakyat berarti bermain api di lumbung jerami, mereka lupa pangilan semula siapa yang mengaji mereka semua rakyat, jangan sampai Indonesia maju seperti Mesir rakyat bukan takut polisi,brimob,tentara,presiden jikalau rakyat diberi senjata apa pihak polri mampu melawan???
Sumber: http://nasional.vivanews.com, http://www.tribunnews.com, http://regional.kompas.com, http://www.republika.co.id, http://news.okezone.com,
0 komentar:
Posting Komentar